Naik Turun, Rupiah Makin Galau

Grafik Dolar VS Rupiah (Sumber: Refeniv)
Istimewa.in | Dampak COVID-19 saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun rupiah masih labil di perdagangan pasar spot.

Pada Senin (11/5/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.936. Rupiah menguat 0,49 dibandingkan posisi akhir pekan lalu dan berhasil berada di bawah Rp 15.000/US$ untuk kali pertama sejak 16 Maret.


Sementara di pasar spot, rupiah belum menemukan bentuk permainan terbaik. Kala pembukaan pasar, rupiah melemah 0,07% ke Rp 14.900/US$. Rupiah sempat menguat 0,27% menjadi Rp 14.850/US$, tetapi pada pukul 10:25 WIB jadi stagnan di Rp 14.890/US$.

Sayang sekali, rupiah belum mampu mengikuti mata uang utama Asia lainnya yang cenderung menguat di hadapan dolar AS. Won Korea Selatan menjadi yang terbaik di Benua Kuning sedangkan yen Jepang menjadi yang terlemah.


Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia di perdagangan pasar spot pada pukul 11:07 WIB:

Mood investor sebenarnya sedang agak bagus hari ini. Penyebabnya adalah aktivitas ekonomi yang mulai bergeliat usai lumpuh akibat pandemi virus corona yang memaksa pemerintah di berbagai negara menerapkan pembatasan sosial (social distancing).
 


Misalnya di AS, dua neara bagian yaitu Michigan dan California akan mulai melonggarkan social distancing pada Kamis waktu setempat. Dua daerah tersebut merupakan pusat industri manufaktur di Negeri Paman Sam.

Pembukaan kembali pabrik-pabrik membawa harapan bahwa ekonomi yang terpukul bisa bangkit berdiri dalam waktu yang tidak terlampau lama. Selain itu, aktivitas ekonomi yang bergerak akan membuat angka pengangguran yang sekarang abnormal menjadi normal kembali.

Akhir pekan lalu, US Bureau of Labor Statistics mengumumkan angka pengangguran AS mencapai 14,7% pada April 2020, tertinggi sejak Perang Dunia II. Plus, jumlah lapangan kerja di AS menyusut 20,5 juta. Ini adalah penurunan terdalam sejak Depresi Besar pada 1930-an.


Namun pasar melihat bahwa angka pengangguran bulan lalu adalah titik nadir. Ke depan, ada harapan angka ini bakal menurun seiring aktivitas masyarakat yang kembali dibuka.

"Kita semua memantau bagaimana pembukaan kembali (reopening) ini berjalan. Anda mulai bisa mendengar dari dunia usaha bahwa kondisi sudah lebih baik ketimbang beberapa waktu lalu yang membuat depresi," kata Keith Lerner, Chief Market Strategist di Truist/SunTrust Advisory Services, seperti dikutip dari Reuters.